Film Joker Memperparah Persepsi Publik tentang Penyakit Mental

Yoga Prasetyo
4 min readOct 25, 2019

Setiap tahun, pada tanggal 10 Oktober dirayakan sebagai hari kesehatan mental dunia. Ketika kita bicara tentang kesehatan tentunya, terdapat 2 istilah yang melekat; sehat dan tidak sehat atau disebut sebagai penyakit. Ternyata kesehatan ga hanya bicara tentang fisik atau tubuh saja, tapi kesehatan juga meliputi tentang mental.

Penyakit mental sendiri merupakan topik yang sering dipublikasikan dengan sensitif di media. Namun, media kerap kali salah mengartikan topik dan terkadang bahkan menjelekkannya. Karakter dengan penyakit mental kadang-kadang digambarkan sebagai individu yang mudah berubah, keras, dan destruktif. Pada film yang dibesut oleh Todd Phillips yaitu Joker, mengklaim bahwa film ini sepertinya jatuh ke dalam perangkap persepsi publik saat ini.

Joker berusaha menjelaskan mengapa karakter menjadi monster yang ia lakukan. Namun, sebagian penonton khawatir bahwa penjelasan ini akan menambah stigmatisasi lebih lanjut pada penyakit mental, atau lebih buruk lagi, dan bahkan menumbuhkan kepercayaan bahwa orang yang menderita penyakit mental harus diperlakukan sebagai manusia yang tidak diakui dan dihindari.

Namun, kalau kita lihat secara sosial film ini menunjukkan masalah realistis tentang kesehatan mental dan memiliki beban moral yang untuk dipikirkan oleh masyarakat. Jadi, apakah Todd Phillips pada Joker merupakan film yang bermanfaat atau berbahaya bagi berbagai penggambaran penyakit mental di media?

‘Joker’ sangat jujur tentang perjuangan memiliki penyakit mental

Salah satu adegan Joker yang memilukan, Arthur Fleck, yang diperankan oleh Joaquin Phoenix, mencoret-coret pesan menyedihkan di jurnal yang ia gunakan untuk menyimpan lelucon dan mimpinya untuk menjadi seorang standup comedian. Arthur menulis, “he worst part about having a mental illness is people expect you to behave as if you don’t.”

Kutipan ini bisa sangat dekat oleh banyak orang yang berjuang dengan masalah kesehatan mental. Joker sebagai Arthur menderita kondisi yang dikenal sebagai “Pseudobulbar Affect (PBA) “, yang menyebabkan individu yang menderita tertawa atau menangis dengan intensitas yang ekstrem selama momen yang tidak pantas. Alih-alih menerima perhatian dan simpati dari rekan-rekannya dan lingkungan sekiar, Arthur terisolasi, diejek, dan bahkan dipukuli dengan keras ketika kondisinya muncul sepanjang film.

Contoh-contoh ini membuktikan bahwa Arthur agak benar tentang harapan masyarakat terhadapnya terlepas dari kondisi mentalnya, membuat kondisi orang dengan menderita penyakit mental tampak semakin tragis.

‘Joker’ sepertinya menghubungkan langsung akar kekerasan dengan penyakit mental

Film ini jelas bermaksud membuat pernyataan tentang bagaimana masyarakat memperlakukan orang dengan penyakit mental secara keseluruhan, tetapi secara tidak sengaja memberikan cukup pembenaran bagi penonton tentang kesalahpahaman tentang kesehatan mental.

Setiap gejala penyakit mental yang diperlihatkan Arthur digunakan sebagai bukti untuk pembunuhan. Joker tampaknya membingkai pengaruh pseudobulbar Arthur sebagai respons terhadap pembantaian dan kekerasan, bukannya sebagai gangguan pada sistem saraf.

Di akhir film, Arthur secara eksplisit mengutip perjuangannya dengan kesehatan mental sebagai dorongan untuk tindakan mengerikannya. Sebelum secara brutal membunuh idolanya favoritnya, Murray Franklin, yang diperankan oleh Robert De Niro, Arthur bertanya, “Apa yang Anda dapatkan ketika Anda melewati hari-hari dengan sakit jiwa dan diperlakukan seperti sampah?”

Jawaban untuk pertanyaan Arthur tampaknya cukup sederhana: siklus kekerasan tanpa akhir.

Pada kenyataannya, tidak ada hubungan yang terbukti antara kekerasan dan penyakit mental. Menurut sebuah studi yang diselesaikan oleh Institut Nasional Kesehatan Mental, satu dari lima orang hidup memiliki beberapa jenis penyakit mental. Bahkan, penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang hidup dengan penyakit mental lebih cenderung menjadi bahaya bagi diri mereka sendiri daripada orang lain.

‘Joker’ secara realistis menggambarkan perjuangan mencari pengobatan untuk penyakit mental

Arthur tidak pernah diberikan diagnosa resmi atau dilabeli dengan suatu kondisi, ia terus merujuk dan mencari pengobatan untuk penyakit mentalnya sampai akhirnya terjerumus ke dalam kekerasan. Kita melihat Arthur bertemu dengan seorang pekerja sosial untuk membahas kondisi mentalnya. Kita belajar bahwa Arthur meminum tujuh obat berbeda tetapi masih berjuang dengan gejala penyakit mentalnya.

Kondisi mentalnya berubah menjadi terburuk setelah Gotham City mengurangi dana untuk layanan sosial dan menutup pusat psikiatris Arthur, meninggalkannya tanpa obat dan segala bentuk perawatan. Ini adalah perjuangan nyata yang sangat menyakitkan yang dihadapi oleh orang-orang yang hidup dengan penyakit mental. Meskipun jutaan orang berjuang dengan masalah kesehatan mental, penelitian mengungkapkan bahwa hanya dua pertiga dari mereka yang menderita sebenarnya mencari bantuan dari seorang profesional.

‘Joker’ mencetuskan dialog tentang pentingnya perawatan kesehatan mental

Kembali kepada pernyataan sebelumnya, apakah Joker melakukan banyak tindakan kejahatan daripada kebaikan dalam hal stigma seputar masalah kesehatan mental adalah pertanyaan yang sulit.

Dalam beberapa hal, film ini berhasil menciptakan pandangan yang kuat tentang bagaimana orang-orang dengan penyakit mental diperlakukan di masyarakat. Dengan cara lain, Joker tampaknya menggunakan penyakit mental sebagai alat plot untuk membenarkan tindakan mengerikan Arthur.

Secara keseluruhan, Joker jelas memiliki niat baik tentang melihat bagaimana realitas seorang yang mengidap penyakit mental, tetapi pesan film menjadi kabur ketika garis antara menciptakan empati bagi mereka yang berjuang dengan penyakit mental dan merasionalisasi perilaku kekerasan. Terlepas dari itu, film ini mengajak orang mendiskusikan kesehatan mental, yang merupakan langkah maju menuju kemajuan itu sendiri.

--

--

Yoga Prasetyo

Mas-mas kerja di startup yang umurnya lebih dari 1/4 abad